Senin, 18 Mei 2015

Pengimajian: Antara Abstrak & Konkret

Apakah yang dimaksud dengan pengimajian? Menjawab pertanyaan tersebut dapat dengan sebuah definisi. Tetapi, definisi terkadang tidak menggambarkan pengertian sesuatu sebagai perilaku yang konkret. Kekonkretan perilaku mengimaji puisi akan jauh lebih mudah dipahami daripada definisi. Namun tak apalah, sebagai sebuah gambaran di sini saya berikan dua buah alternatif definisi tentang pengimajian.

Pengimajian adalah usaha pengaturan/penyusunan kata sehingga makna yang abstrak menjadi jelas dan konkret. Melalui pengimajian, apa yang disampaikan dalam puisi dapat seolah nampak (imaji visual), terdengar (imaji auditif), teraba (imaji taktilis), terasa (imaji gustatif), dan tercium baunya (imaji olfaktif).




Pengimajian merupakan usaha untuk mentransformasikan konsep abstrak dan umum menjadi bentuk lain yang konkret dan khas sehingga dapat merangsang indra pembaca untuk menangkapnya sebagai gambaran yang lebih khas dan konkret pula.

Seorang penulis puisi yang baik mestilah bisa sedapat mungkin menggugah pembacanya untuk dapat seolah-olah melihat benda-benda dan warna, mendengar berbagai bunyi-bunyi, menggunakan perabanya untuk menyentuh kesejukan, mencium sejuta wangi bunga, merasakan pahit getirnya penderitaan, menangkap cita rasa haru biru perasaan yang disampaikan. Hal tersebut menjadi begitu penting karena puisi berkomunikasi dan dinikmati oleh dua sisi otak kita. Otak kanan dan kiri, yang emosional dan yang rasional. Sisi emosional dapat menangkap berbagai informasi melalui bahasa, bunyi, warna, rupa, dan rasa. Sisi ini lah yang menjadi media utama sebuah karya seni ditumpahkan dan dimengerti. Puisi sebagai bagian dari seni itu sendiri tentu harus sedapat mugkin menyampaikan pesan-pesannya melalui media tersebut.

Bacalah puisi berikut dengan sungguh-sungguh!

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang-Tangkubanprahu.

Juamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan

jamrut di pucuk-pucuk,
jamrut di hati gadis menurun.

(“Tanah Kelahiran” Ramadhan)

Apa yang terjadi dengan penggunaan bahasa sajak di atas? Dapatkah kita tergugah menggunakan mata hati kita untuk seolah-olah melihat benda-benda dan warna, mendengar bunyi-bunyi, merasakan kesejukan menikmati keindahan dan semua yang coba disampaikan penyair kepada kita sebuah gambaran yang wujud?

Mengapa kita tergugah? Cobalah perhatikan bait pertama. Dalam bait itu penyair menggunakan kata-kata seruling, pohonan pina, tembang, Burangrang dan Tangkubanprahu. Kata-kata tersebut menyatakan benda yang konkret dan khas. Sehingga menghadirkan imaji yang konkret dan khas pula. Begitu pula bait-bait selanjutnya.

Dengan membaca puisi tersebut kita dapat menangkap ‘Tanah Kelahiran’ sebagai sesuatu yang begitu tenang dan menentramkan. Namun andai kata penyair menggunakan kata tenang dan tentram untuk menggambarkan ‘Tanah Kelahiran’ imaji yang konkret dan khas tidak akan pernah timbul. Hal itu karena kata tenang dan tentram bersifat abstrak dan umum (tidak khas). Puisi itu kemudian menjadi tak berjiwa dan segera mati sebelum sempat memikat hati. Tetapi penyair tidak memilih untuk menggunakan kata tenang dan tentram untuk menggambarkan ‘Tanah Kelahiran’. Sehingga gambaran akan ‘Tanah Kelahiran’ hadir sebagai sesuatu yang wujud dan memikat, dan pembaca tetap bisa menangkap rasa tenang dan tentram, bahkan lebih lagi.


Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang-Tangkubanprahu.
(konkret dan khas)
IMAJI

Tanah kelahiran itu
Tenang dan tentram
(abstrak dan umum)
TANPA IMAJI

Bermacam imaji dapat dimunculkan penyair dalam puisinya. Imaji visual seperti lansekap, bentuk embun, warna daun, cerah atau redupnya cuaca, dan lainnya. Imaji auditif seperti suara seruling, gelas-gelas berdenting, riuhnya pasar malam, atau bisingnya suara kendaraan di kota metropolitan. Imaji taktilis seperti sejuknya embun, panas atau sejuknya hari, perihnya saat pisau dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka. Imaji gustatif seperti manis, asam, asin, pahit getirnya hidup yang hanya menunda kekalahan. Imaji olfaktif seperti harumnya bunga melati, sedapnya masakan bunda begitu dirindu karena sudah dua kali lebaran tak pulang ke rumah, atau bau busuk yang berteman dengan anyir digot-got pembuangan bayi.

Berikut beberapa contoh lain pengimajian dalam puisi.

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan
Dari daun
Karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta
langkah pedati. Ketika langit bersih menampakkan bima sakti
……

(dari puisi “Asmaradana” Goenawan Mohamad)

….
Serasa manis sejuknya embun,
Selagu merduh dersiknya angin,
Demikian rasa,
Datang semata,
Membisik, mengajak aku berpantun,
Mendayung jiwa ke tempat dingin
….
(dari pusi “Perasaan Seni” J.E. Tatengkeng)
Hanya gelap …
Kala kusadar kurengkuh hanya bayang sendiri
Kala sudah henti penaku bersenandung
Dimana kala itu kataku tak lagi cukup
Bekukan rasa
Leburkan cinta
Tingal puing-puing halus
terjurai hampir pupus
dalam sisa yang tiada lagi tulus

(dari puisi “Gelap” Ryka Claudia Lolita)

Terpekur jiwa gulana
Ingin tuangkan dalam bejana
Melemparnya jauh ke dasar palung!

Aku rindu…
Rebah manja di pangkuanmu
Mencium dalam…lembutmu
Membenamkan rambutku di dekapmu
(dari puisi “Aku Rindu” Emma KA)

Berikut ini adalah beberapa puisi yang cukup berhasil menyajikan berbagai imaji secara khas dan konkret. Bacalah dengan sungguh-sungguh, maka akan terasa semuanya begitu terlihat, terdengar dan teraba.

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
terdekap

Puisi Chairil Anwar di atas membuat kita seolah ikut berada di antara gudang, rumah tua, tiang serta temali lalu menemui Kapal, perahu tiada berlaut. Lalu kita seolah dapat merasakan Gerimis mempercepat kelam yang ditingkahi suara kelepak elang. Kita merasa sendiri, berjalan menyisir semenanjung dengan pengap harap.


Sajak di Sembarang Kampung

Di sebuah kampung di kota metropolitan
tak diperlukan sajak, karena anak-anak
bagai ayam. Dilepas waktu dini
dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
setelah sepanjang siang mengais dan melengking

Di sebuah kampung itu, tak ada batas-batas
ruang tidak ialah tempat makan dan marah
kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
disumbangkan beramai-ramai
desas-desus berlalu lalang dengan deras

- kau tak mengenal lagi
apakah yang tergantung itu boneka atau bayi

Tak ada ejek-mengejek, tapi semua merasa tersindir
tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing
bahkan hampir pingsan, katanya karena pennyakit jantung
perut selalu lapar, meskpun hutang semakin menggunung

- Sepuluh tikus dalam kotak sabun
tak membayangkan bakal rukun

Di seberang kampung, di kota metropolitan dan bukan
harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan
Harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi

adakah kau masih menulis puisi
pada saat seharusnya menyusui?

(Tonggak IV, 1987)

Puisi ini ditulis oleh Agnes Sri Hartini Arswendo, memenangkan Sayembara Penulisan Puisi yang diselenggarakan oleh BBC London (1986). Puisi ini memiliki tema kritik sosial tentang kehidupan kumuh kota metropolitan Jakarta. Bagi orang Solo yang baru sampai di Jakarta (saat itu) dan tinggal di perkampungan kumuh, penyair merasa tidak nyaman hidup di lingkungan tersebut. Ia mengugkapakan bahwa di sana tak diperlukan sajak, karena anak-anak bagai ayam, dilepas dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis/ setelah sepanjang siang mengais dan melengking.

Di kampung yang sempit itu tak ada batas-batas, ruang tidur ialah tempat makan dan marah. Kekumuhan juga muncul karena kamar mandi milik bersama, dan bau pesing disumbangkan beramai-ramai.

Di rumah-rumah yang salaing berdempetan berpetak-petak, maka desas-desus berlalu lalang dengan deras. Bayi pun di letakkan di sembarang tempat, sehingga kita tidak tahu apakah yang tergantung itu boneka atau bayi.

Kebanyakan dari mereka adalah orang miskin yang hidunya serba susah, maka meskipun tak ada ejek-mengejek, namun semua merasa tersindir. Bahkan karena hidup yang pengap, tanpa bekerja pun mereka sudah kelelahan, pusing dan hampir pungsan karena sakit jantung. Mereka adalah orang-orang miskin, perut selalu lapar, meskipun hutang makin menggunung.

Penghuni pemukiman kumuh itu diumpamakan penyair sebagai sepuluh tikus dalam kotak sabun yang tak mungkin hidup rukun.

Di daerah kumuh, orang miskin itu tak punya harapan lagi akan masa depan. Harapan telah lama dibunuh oleh mimpi dua hal yang tak hanya bertetangga, bahkan tinggal serumah. Mereka sudah bosan dengan iklan gemerlapan yang penuh tipu muslihat, yang menyebabkan harga diri telah terbeli, di antaranya secara resmi.

Penyair meragukan apakah di tempat yang seperti itu masih lahir puisi? Ia menyangsikan adakah kau masih menulis puisi / pada saat seharusnya menyusui?


Dari Jendela

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan
anakku berlari menerobos sawah dan kali
berjalan di atas batang padi
dengan longdress putih dan sayap bidadari

Hujan turun dankabut tebal sekali
itu semua tak menahan penglihatanku lewat kaca
itu semua tak menahan kemauannya menari

- ia tak menoleh ke arahku
tapi aku pasti
ia tampak girang sekali
bermain-main di tempat tanpa batas

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan
wajah sendiri
tergeletak di antara sawah, kali dan batang padi

Puisi di atas bertema kedukaan hati karena anaknya yang baru meninggal dunia. Begitu besar duka penyair itu, sehingga ia naik kereta api Senja dari Solo ke Jakarta, dari jendela seolah-olah ia meliah anaknya berlari menerobos sawah dan kali/ berjalan di atas batang padi/ dengan longdress putih dan sayap bidadari.

Saat itu hujan turun dan kabut tebal sekali. Akan tetapi itu semua tak menahan penglihatan sang ibu yang begitu sedih karena baru kehilangan anaknya. Bahkan Itu semua tak menahan kemauannya untuk menari.

Penyair menyadari bahwa bayangan putrinya (yang telah meninggala dunia) tidak menoleh kepadanya. Penyair hanya dapat melihat anaknya yang tampak girang sekali/ bermain-main di tempat tanpa batas (larik tempat tanpa batas dapat diinterpretasikan sebagai dunia arwah).

Akhirnya penyair yang sedari tadi seolah-olah menyaksikan bayangan anaknya tersadar. Dari tempat yang sama (Dari jendela kaca kereta Senja) akhirnya ia hanya melihat wajah sendiri/ tergeletak di antara sawah, kali dan batang padi.

(dari berbagai sumber)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar