Sabtu, 02 Februari 2019

Kita dan Puisi: Sebuah Perkenalan atau Perjumpaan Kembali

Meminta saya menjadi pemateri pada kelas puisi sesungguhnya dapat diperdebatkan. Waktu akhirnya membuktikan bahwa saya bukan penulis, lebih-lebih penyair. Jika penulis disempitkan dalam pengertian orang yang rutin menulis, menerbitkan karyanya di surat kabar, menerbitkan buku lewat penerbit mayor; maka saya tidak termasuk.

Kurang lebih, saya hanyalah manusia pada umumnya, yang pada beberapa kesempatan disergap keresahan dalam menjalani perjalanan hidup ini. Kemudian dengan sedikit sekali kepekaan sastrawi yang tuhan titipkan, akhirnya saya menemukan puisi sebagai bentuk ekspresi. Orang lain mungkin melukis, menari, bermusik; saya menulis puisi.

Keresahan yang menyergap kita seringkali mengambil bentuk yang gaib, halus, abstak. Tidak dapat diungkap dengan sesuatu yang biasa. Pada kesempatan lain ia begitu intens, pekat, kental, menubi. Sesuatu yang terlalu biasa tidak akan pernah mampu bahkan sekedar untuk mewadahinya, apalagi mewujud menjadi dia yang utuh.

Untuk mengekspresikan keresahan dan pengalaman puitik seperti di atas lah saya menemukan puisi sebagai wujud yang kuat dan mampu, sekaligus estetik dan berbudaya. Bagi saya pribadi terasa begitu personal dan tak tergantikan. Sedemikian khususnya makhluk yang bernama puisi ini. Ia begitu berbeda dan istimewa.

Sampai di sini mungkin sebagian kita mulai bertanya-tanya, apa benar sebentuk permainan kata-kata dapat tiba pada pencapaian yang seperti itu? Apa puisi juga akan mendampak serupa kepada pembaca seperti kepada penulisnya? Atau, bagaimana kita dapat mencipta sesuatu yang sekuat dan semampu itu?

Mencipta sesuatu yang seistimewa puisi tentunya menempuh jalan-jalan yang istimewa pula. Namun, sebelum mensyaratkan hal-hal yang istimewa, puisi juga mensyaratkan hal-hal yang umum, sama seperti bentuk tulisan lainnya.

Pertama, kejernihan.  Puisi yang baik harus mampu mengkomunikasikan pengalaman puitik dengan jernih. Ketika disergap pengalaman puitik yang demikian pekat atau halus kita biasanya tenggelam di dalamnya. Semuanya begitu jelas, begitu terasa, bagi diri kita sendiri. Namun, ketika tiba gilirannya untuk menyampaikan kepada orang lain kita gagal. Kita secara tidak sadar hanya menyajikan hal secara sepotong-sepotong, dan itu tidak masalah buat kita karena kita punya potongan lain di kepala kita. Atau kita secara tidak sadar juga menyajikannya secara acak, karena kita tahu bagaimana susunan sejatinya, di kepala kita.

Harus ada upaya untuk menaklukkan pengalaman puitik kita. Setiap kepingan harus kita sajikan secara lengkap juga tepat. Sehingga keresahan yang demikian halus atau pekat itu dapat mewujud sebagai sesuatu yang jelas untuk dibaca. Harus ada proses alih ragam dari abstrak ke konkret, dari afektif ke kognitif. Harus ada proses intelektualisasi.

Afrizal Malna,  mengatakan, tanpa proses intelektualisasi maka puisi yang direpresentasikan mungkin hanya tinggal pengalaman puisi yang gelap, yang gagal membangun  dirinya menjadi ide atau visi-visi tertentu, yang lebih sebagai keintiman dengan diri sendiri.

Kedua, kesatuan dan kepaduan. Kesatuan berarti bahwa puisi tersebut hanya mengadung satu gagasan pokok yang diusung oleh gagasan-gagasan bawahannya. Tidak boleh ada bagian yang semestinya tidak ada. Kemudian, kepaduan setiap bagian atau gagasan bawahan diikat dengan baik melalui susunan dan hubungan-hubungannya. Tidak boleh ada bagian yang mudah terlepas atau mudah dicampakkan begitu saja.

Ketiga, kebaruan. Karya seni atau sastra khususnya memang ditakdirkan untuk melawan klise. Setiap karya yang baik tak pernah mengambil kesimpulan-kesimpulan secara gampang dari soal yang tengah digarapnya. Karya yang baik mesti mendahului pemikiran-pemikiran jamannya. Kalaupun ia mengambarkan keadaan jamannya—ia tak hanya menggambarkan apa yang ada di permukaan realitas, tapi lebih masuk ke balik realitas itu. Ia akan mengungkit misteri-misteri, kebusukan yang disembunyikan, atau terang yang ditutup-tutupi oleh realitas yang kasat mata. Ia akan membongkar jaringan dan struktur yang ada di balik realitas. Ia seharusnya bertugas untuk mengungkap ‘ketidakseimbangan atau kontradiksi-kontradiksi yang ada pada realitas’ ujar Paulo Freire ketika ditanyakan kepadanya tentang tugas dari karya seni.

Ciri Kebahasaan Puisi

Selain mensyaratkan hal umum di atas, ada beberapa hal yang khas dalam puisi. Beberapa hal berikut ini menjadikan proses mencipta puisi menjadi berbeda dengan proses penulisan lainnya.

Pemadatan Bahasa. Salah satu dari ciri kebahasaan puisi adalah pemadatan bahasa. Menurut pendapat yang mungkin konservatif kata-kata dalam sebuah puisi tidak ditujukan untuk membentuk kalimat dan alinea, tetapi larik dan bait yang sama sekali berbeda hakikatnya. Larik memiliki makna yang lebih luas dari kalimat. Dengan demikian diharapkan kata dan frasa juga memiliki makna yang lebih luas daripada kalimat biasa.

Tujuan lain dari pemadatan bahasa adalah menciptakan kekuatan magis. Dengan pemadatan bahasa, setiap kata dalam puisi manjadi makin kuat dan berkekuatan. Semakin padat bahasa yang digunakan, maka maknanya akan terasa semakin dalam.

Diksi. Sapardi Djoko Damono mengatakan, “kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata yang berserakan di sekeliling kita dengan artinya yang ‘umum’ harus menyesuaikan diri dengan pengalaman puitik kita yang ‘khusus’. Pengabdian total terhadap kata-kata yang sudah ada, tanpa usaha menundukkannya hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang mentah dan membosankan.”

Lebih lanjut Sapardi Djoko Damono berujar, “ andaikata yang utama dalam puisi adalah ide, dan bukan kata-kata, maka saya yakin bahwa setiap cerdik pandai yang memiliki ide yang bagus-bagus akan dengan mudah menulis puisi, dan selalu berhasil.”

Maka jelaslah sudah, puisi adalah tentang kata-kata. Media sekaligus tujuannya. Efek puitis timbul dari pemilihan kata yang tepat. Kesan yang kuat, makna yang mendalam juga timbul dari kata-kata yang dipilih. Semuanya tentang kata-kata.

Kata-kata yang dipilih dipertimbangkan betul dari berbagai aspek dan efek pengucapnnya. Tidak jarang kata-kata tertentu dicoret beberapa kali karena belum mewakili suara hati penyair (Jika punya kesempatan lihatlah naskah asli puisi karya para penyair di Pusat dokumentasi H.B. Jassin).

Pengimajian. Pengimajian adalah usaha pengaturan/penyusunan kata sehingga makna yang abstrak menjadi jelas dan konkret. Melalui pengimajian, apa yang disampaikan dalam puisi dapat seolah nampak (imaji visual), terdengar (imaji auditif), teraba (imaji taktilis), terasa (imaji gustatif), dan tercium baunya (imaji olfaktif).

Pengimajian merupakan usaha untuk mentransformasikan konsep abstrak dan umum menjadi bentuk lain yang konkret dan khas sehingga dapat merangsang indra pembaca untuk menangkapnya sebagai gambaran yang lebih khas dan konkret pula.

Seorang penulis puisi yang baik mestilah bisa sedapat mungkin menggugah pembacanya untuk dapat seolah-olah melihat benda-benda dan warna, mendengar berbagai bunyi-bunyi, menggunakan perabanya untuk menyentuh kesejukan, mencium sejuta wangi bunga, merasakan pahit getirnya penderitaan, menangkap cita rasa haru biru perasaan yang disampaikan. Hal tersebut menjadi begitu penting karena puisi berkomunikasi dan dinikmati oleh dua sisi otak kita. Otak kanan dan kiri, yang emosional dan yang rasional. Sisi emosional dapat menangkap berbagai informasi melalui bahasa, bunyi, warna, rupa, dan rasa. Sisi ini lah yang menjadi media utama sebuah karya seni ditumpahkan dan dimengerti. Puisi sebagai bagian dari seni itu sendiri tentu harus sedapat mungkin menyampaikan pesan-pesannya melalui media tersebut.

Selanjutnya ada satu hal istimewa lagi. Kita mulai dengan sebuah pertanyaan. Dapatkah kita menikmati puisi tanpa mengerti maknanya? Atau bisakah kita menangkap getar estetikanya tanpa memusingkan tentang makna?

Puisi sebagai bentuk dari seni dapat berkomunikasi kepada pembaca tidak hanya melalui saluran makna dan pengertian. Puisi bukan teks informasi yang menuhankan makna sebagai satu-satunya yang maha.

Kita dapat menikmati  lukisan walaupun kita bukan ahli lukisan. Kita menikmati lagu asing yang kita tidak mengerti bahasanya. Kita menikmati tarian tanpa pernah bertanya apa maknanya. Sebuah puisi yang baik harus sejajar dengan bentuk karya seni lain dalam hal kebisaannya untuk dinikmati.

Puisi dengan segala kekhasannya harus mampu wujud sebagai sebuah bentuk estetik yang mandiri dan kuat. Sehingga di hadapan pembaca yang paling sederhana sekalipun puisi akan mendampak. Akan mampu mengkomunikasikan kesedihannya jika ia sedih, keindahannya jika ia dimaksudkan untuk indah. Meskipun demikian, memang tetap saja tingkat apresiasi setiap orang dengan pengetahuan, pengalaman, dan kepekaan yang berbeda akan sampai pada tingkat yang berbeda pula.

Pada puisi yang baik: BAHASA menjadi MEDIA sekaligus TUJUAN! Jadi, tak ada makna atau isi atau pesan yang berada DI LUAR bahasa. Makna hadir menyerentak dalam bentuk bahasa. Isi dan bentuk tiada terpisah. Jangan kau andaikan makna dalam puisimu seperti teh manis dalam gelasnya. Bahasa adalah ‘House of Being’ kata Martin Heidegger.

Sutardji Calzoum Bachri berujar, “Puisi bukanlah sekadar pesan, isi, tema, tetapi terutama memberikan perhatian maksimal terhadap cara pengungkapan bahasanya. Jika engkau sengaja meniatkan puisimu kosong dari tema atau pesan, sekadar elaborasi ungkapan atau kata-kata, bahkan sekadar bunyi-bunyian dari kata-kata namun jika engkau membuatnya padu, intens, terkontrol menarik, dan cantik serta unik dan luar biasa, saya yakin pembaca akan segera sibuk mencarikan tema atau pesan untuk sajakmu yang kau klaim kosong tema atau tanpa makna itu. Engkau tinggal ongkang-ongkang senyum dan ketawa, sementara para pembaca dan kritikus ikhlas gembira memeras keringat hati dan otaknya untuk mencarikan pesan/makna pada sajakmu itu.

Sebaliknya, sajak yang mengandung pesan sebesar apa pun jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil. Ibarat perempuan dengan kandungan besar namun tak kunjung melahirkan.”

Demikian perjumpaan kita kembali dengan puisi. Adakah di antara kita yang jatuh cinta, atau semakin cinta? Adakah ada di antara kita yang tertarik mengkaji ulang cara kita menulis puisi? Adakah di antara kita yang telah memutuskan untuk mengambil puisi sebagai bentuk ekspresi?


Disampaikan oleh: Angga Adhitya
Pada Acara Forum Lingkar Pena Bandar Lampung
Bandar Lampung, Bulan Kemerdekaan 2017

Disarikan dari berbagai makalah pelatihan menulis puisi. Banyak kutipan yang tidak ditulis sebagaimana mestinya sangatlah mungkin. Istilah dan ungkapan sebagian dipinjam dari banyak penulis dan pelatih lain baik dalam penyampaian lisan maupun tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar